Arya Gunawan

Icon

Saya dibesarkan oleh Si Kuncung

Terima kasih karena sudah memposting tulisan menyentuh ini. Salah satu dari sangat sedikit hal yang bisa membuat mata saya basah adalah tulisan (entah lewat puisi, cerpen, novel, atau surat). Dan tulisan Pak Mula Harahap yang diposting di milis kita ini termasuk dalam kelompok itu. Mata saya berair. Berair tersebab oleh isi tulisan ini, juga oleh kenangan yang hadir di hadapan mata saya.

Sama seperti Pak Mula (beliau kini salah seorang pengurus Ikatan Penerbit Indonesia/Ikapi, bukan?), juga mungkin banyak di antara anggota milis ini, saya dibesarkan oleh Si Kuncung. Saya kenal nama ini ketika saya duduk di kelas II atau III SD (tahun-tahun 1973-an), di kota kelahiran saya, Jambi. Majalah ini hanya dijual di satu tempat: yaitu di Kantor Pos besar di kota saya, yang kebetulan berjarak hanya sekitar setengah kilometer dari rumah saya. Menunggu terbitnya edisi baru adalah sebuah pekerjaan yang mendebarkan, hanya berselisih seurat dibandingkan menanti datangnya kekasih di masa-masa puber pertama (bukan berarti saya kini berada pada masa puber kedua, kendati usia saya memang sudah masuk ke periode itu).

Read the rest of this entry »

Filed under: Uncategorized

Sinema Indonesia 2007: Dari “Naga” Deddy Mizwar Hingga “Monyet” Djenar

Persoalan estetika film Indonesia tahun 2007 ini secara umum tak begitu banyak beranjak dari tahun-tahun sebelumnya di sepanjang era reformasi yang telah berlangsung hampir satu dasawarsa ini. Dari segi jumlah judul maupun jumlah penonton, telah terjadi peningkatan dari tahun ke tahun, sedikit-banyak didorong oleh perkembangan di bidang teknologi yang kian mudah dan murah diperoleh. Namun sebagaimana yang lazim terjadi, peningkatan dari segi jumlah tidaklah serta merta berbanding lurus dengan peningkatan dari segi mutu artistik.

Perjalanan film Nagabonar Jadi 2 (untuk seterusnya dalam tulisan ini disingkat sebagai Naga) bisa dijadikan cermin kondisi di atas. Film yang merajai hampir semua festival film yang diselenggarakan di Indonesia di sepanjang tahun 2007 ini, menunjukkan sekaligus dua hal penting. Hal yang pertama bisa dianggap “cukup memprihatinkan”, dan hal yang kedua dapat digolongkan sebagai sesuatu yang “menggembirakan”. Hal yang pertama tersebut adalah bahwa ternyata seakan-akan tidak cukup banyak alternatif yang dimiliki oleh para juri di berbagai ajang festival film itu sehingga mereka seperti paduan suara yang kompak menghujani Naga dengan berjenis penghargaan, termasuk penghargaan tertinggi sebagai film terbaik. Naga sulit terkalahkan oleh para pesaing lainnya di berbagai ajang festival tersebut.

Di FFI 2007 misalnya, dimana saya ikut menjadi salah seorang anggota dewan juri, dari putaran-putaran awal sudah kelihatan bahwa suara para juri “berat” ke Naga. Dalam diskusi yang tetap diwarnai perdebatan, baik pada tahapan penentuan nominee/unggulan, juga pada penentuan pemenang akhir, Naga tampak memimpin, sehingga pada saat menetapkannya sebagai film terbaik tidak terjadi perdebatan yang terlalu menguras tenaga. Film tersebut meraih nilai-lebih terutama dari segi tematik.

Read the rest of this entry »

Filed under: Film

Dinamika Mutakhir di Seputar Sinema Asia Tenggara

Dewasa ini, nyaris merupakan hal yang musykil untuk mendapati sebuah festival film internasional bergengsi tidak memasukkan film-film dari kawasan Asia Tenggara dalam daftar peserta. Asia Tenggara, diwakili terutama oleh Thailand, Malaysia, Indonesia, Singapura, telah menjadi satu entitas penting yang tak dapat dikesampingkan oleh para pengelola festival di berbagai penjuru dunia. Dengan kata lain: perbincangan mengenai perkembangan sinema dunia akan menjadi tak lengkap apabila tidak ada karya-karya yang mewakili kawasan Asia Tenggara tersebut.

Minat dan ketertarikan dunia terhadap Asia Tenggara agaknya merupakan pergeseran, atau mungkin lebih tepat disebut sebagai perluasan, dari minat dan ketertarikan terhadap sinema dari sejumlah negara lainnya di Asia yang non-Asia Tenggara. Jepang dan India, misalnya, sudah sejak tahun 1940-an ikut terjun meramaikan gelanggang percaturan sinema dunia itu, disusul kemudian oleh Cina Daratan dan Hong Kong. Pada periode yang lebih kontemporer, daftar tadi bertambah pula dengan Iran, Taiwan, dan Korea Selatan.

Read the rest of this entry »

Filed under: Film

Melahirkan Buku

Ruas-ruas jalan Beyoglu, pojok-pojoknya yang gelap, niatku untuk pergi, rasa bersalahku – semua itu berkedip-kedip bagaikan lampu-lampu neon dalam kepalaku. Sekarang aku tahu, bahwa malam ini ibuku dan aku tidak akan bertengkar, bahwa dalam beberapa menit lagi aku akan membuka pintu dan keluar menuju jalan-jalan kota ini yang menentramkan; dan setelah berjalan di separuh malam, aku akan kembali ke rumah dan duduk di mejaku dan menangkap nyawa ruas-ruas jalan itu untuk kutuangkan ke atas kertas.

“Aku tidak mau menjadi seorang pelukis,” ujarku. “Aku akan menjadi seorang penulis.”

Sebuah tekad yang kuat tampaknya telah diguratkan. Dan harus dijalankan. Dan memang, dunia kemudian tahu bahwa sang penulis kalimat-kalimat tersebut muncul sebagai seorang penulis dan pengarang cerita terpenting di era mutakhir ini. Dia adalah Orhan Pamuk, pengarang Turki peraih Nobel Kesusasteraan tahun 2006. Kalimat-kalimat yang dikutipkan di atas adalah bagian paling ujung dari bukunya yang terbit tahun 2005, Istanbul: Memories of A City. Buku 348 halaman ini dengan sangat memikat menuturkan keindahan Istanbul, dari sudut pandang seorang warganya yang peka menangkap sasmita keindahan itu.

Buku ini sebetulnya menceritakan riwayat hidup Orhan, namun tidak terasa sebagai sebuah memoar melainkan lebih sebagai sebuah novel. Kisahnya kemudian dilekatkan pada sebuah bingkai yang kokoh, yaitu kota Istanbul yang muncul tidak hanya sekadar sebagai sebuah lanskap, melainkan sebagai sesosok makhluk yang seakan-akan berjiwa, yang punya riwayat, punya manis-getir pengalaman, dan punya indra untuk menyaksikan berbagai peristiwa yang bermunculan di dalamnya, mulai dari masa keemasan dinasti Ottoman hingga masa keruntuhannya, dengan puing-puingnya yang kini menjadi ornamen kota Istanbul.

Read the rest of this entry »

Filed under: Uncategorized

Mengenang dan Merindu “Si Kuncung”

Jika sebuah pertanyaan diajukan kepada saya mengenai hal-hal apa saja yang telah ikut memberi pengaruh pada jalan hidup saya, maka saya tidak akan ragu-ragu untuk memasukkan “majalah anak-anak Si Kuncung” sebagai salah satu jawabannya.

Pertama kali saya mengenal Si Kuncung saat duduk di kelas II atau III SD, menjelang pertengahan tahun 1970-an. Ketika itu usia saya belum genap 10 tahun. Ayah saya yang memperkenalkan saya kepada Si Kuncung. Di kota kelahiran saya, Jambi, majalah ini hanya dijual di satu tempat: yaitu di kantor pos besar, yang berjarak tak sampai sekitar setengah kilometer dari rumah saya. Sejak saya mengenal Si Kuncung, saya bagai terkena hipnotis, sehingga sulit bagi saya untuk tidak segera menamatkannya dalam sekali duduk.

Begitu isi seluruh majalah yang berjumlah 16 halaman itu usai dilahap, saya merasa amat bahagia karena seperti telah diajak berpetualang ke tempat-tempat yang sama sekali belum pernah saya kunjungi: dari Jakarta, lalu melompat ke tempat-tempat lain di Pulau Jawa, lalu terlontar jauh hingga ke tempat-tempat di wilayah Timur Indonesia. Kisah-kisahnya beragam, mulai anak-anak yang bergelimang lumpur saat menggembala kerbau, atau yang dengan riang-gembira membuat permainan dari tumbuhan yang bisa ditiup dan mengeluarkan suara melengking, atau yang ikut dalam perburuan ikan paus.

Read the rest of this entry »

Filed under: Uncategorized